Senin, 06 Oktober 2008

Perajin Gabusan

Dengan cekatan, tangan Suratijan meraih lembaran kertas karton yang ada di depannya. Lantas, dipotongnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ia siapkan beberapa lembar mendhong. Dengan menggunakan sebilah pisau dapur, satu lembar mendhong bisa menghasilkan 3 hingga 4 buah tempat pensil berukuran sedang.

Lebih kurang dua dasawarsa, Suratijan menekuni bidang kerajinan ini. Semula, ia lebih berkonsentrasi pada kerajinan kulit. Untungnya cukup lumayan. Saat itu, harga bahan kulit juga belum melambung tinggi. Ini berlangsung hingga akhir tahun 2000. Selepas itu, permintaan akan kerajinan kulit jauh menurun.

Ini membuat Suratijan berpikir ulang. Ia tak hanya menggeluti kerajinan kulit. Kebetulan, kreativitasnya telah dikenal banyak orang. Termasuk kerajinan menggunakan bahan mendhong, yang berbentuk tas, tempat amplop, tempat pensil dan stopmap. Bahkan, setelah Pasar Seni Gabusan di buka, banyak permintaan datang untuk membuat kerajinan itu.

Suratijan mengaku belum membuka showroom kerajinannya di Pasar Seni Gabusan. Kurangnya modal menjadi kendala terbesarnya. Ia hanya mampu mensuplai kerajinan sesuai permintaan para perajin di pasar seni tersebut. Namun, permintaan ini juga tak bertahan lama. Pasalnya, bencana gempa bumi membuat permintaan berhenti. Pasar seni tersebut juga berantakan lantaran terkena dampak gempa.

Rumah Suratijan yang berada di daerah Manding, Bantul, juga runtuh tak berbekas. Terpaksa ia merelakan rumah berukuran 9x15 m² menguap begitu saja. Kini, ia harus ikhlas tinggal di rumah sederhana berukuran 9x4 m², bersama isteri dan kedua orang anaknya yang sudah beranjak remaja.

Hampir sebulan lebih Suratijan menganggur. Konsentrasinya terpecah antara melanjutkan pekerjaan dan membangun kembali rumahnya. Selain itu, dua buah mesin jahitnya tak bisa berjalan normal karena tertumpuk reruntuhan bangunan. Untunglah, bantuan datang dari Bank Indonesia (BI). Ia mendapatkan ganti 2 buah mesin jahit yang lebih modern. Menggunakan listrik dan tidak terlalu melelahkan, bila dibandingkan mesin jahit manual.

Meski begitu, Suratijan tetap mengharapkan adanya bantuan permodalan untuk perajin kecil sepertinya. “Kalau modal ada, produksi juga bisa bertambah,” kata lelaki murah senyum ini. Biasanya, orang yang memesan barang tidak langsung membayar penuh. Hanya uang panjar sebesar 30% yang diberikannya. Ia pun baru bisa bekerja ketika uang panjar sudah masuk kantong.

Nasib Suratijan tak jauh berbeda dengan Sutejo. Mereka sama-sama menggantungkan hidupnya dari barang kerajinan yang mereka hasilkan. Hanya saja, Sutejo lebih beruntung. Pria berusia 35 tahun ini mempunyai showroom sendiri. Berbagai bentuk kerajinan berbahan dasar perak ia pajang di los 15, Pasar Seni Gabusan.

Hampir sepuluh tahun lebih, Sutejo menggeluti dunia kerajinan ini. Berawal dari kecintaannya pada seni, ia mulai melirik kerajinan perak sebagai ladang hidup. Ini ditambah dengan peran keluarga, yang selalu mendukung untuk melestarikan tradisi membuat perak.

Apa yang dilakukan Sutejo merupakan usaha turun temurun. Ayahnya mengajari dasar-dasar membuat perak. Berbekal kreativitas yang ada, ia mengembangkan jenis-jenis produk menjadi bermacam-macam bentuk. Selain cincin, Sutejo membuat bros, replika delman dan lainnya.

Sebagai bahan dasarnya, Sutejo menggunakan acir. Ini kemudian dicampur dengan 5 gram tembaga. “Kalau tidak dicampur, nggak bisa jadi barang kerajinan,” katanya. Setelah selesai, baru bisa dibentuk. Tak hanya itu, pembeli juga bisa memesan barang sesuai keinginan mereka.

Sutejo tinggal di daerah Kowen I, Timbulharjo, Sewon, Kabupaten Bantul. Nama anak semata wayangnya, Daffa, diabadikagn menjadi label usahanya. Daffa Silver, dianggap label usaha yang membawa keberuntungan. Setidaknya, hal itu yang diyakini Sutejo hingga sekarang.

Selama menggelar barang kerajinannya di Pasar Seni Gabusan, Sutejo banyak terbantu. Penghasilannya lambat laun meningkat. Semula tak banyak yang mengenal hasil kerajinannya. Seiring dengan mulai ramainya pasar seni ini, banyak orderan yang masuk. Tentu saja ini berimbas pada taraf kehidupannya, yang sedikit demi sedikit turut meningkat.

Di los 15 yang ia tempati, merupakan los khusus untuk kerajinan perak. Bahkan, mereka sempat membuat paguyuban. Dengan membayar uang Rp 150 ribu, seorang perajin bisa menjadi anggota paguyuban tersebut. Menurut penuturan Subandi, kawan karib Sutejo, yang juga membuka usaha di pasar seni ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh ketika membentuk paguyuban.

“Jadinya tidak ada persaingan harga,” tutur Subandi. Selain itu, anggota paguyuban bisa saling tolong menolong dan memberi perhatian satu sama lain. Menurut Sutejo, ikatan keluarga bakal menjadi lebih erat. Ia lantas memberi contoh. Beberapa waktu lalu ada sanak saudara anggota paguyuban yang meninggal. Anggota paguyuban yang lain lantas memberikan bantuan dari dana kas yang ada. “Paling tidak kami memberikan perhatian,” kata Sutejo.

Banyak hasil kerajinan yang ia pamerkan. Harga yang ia tawarkan tak lantas membuat kantong pembeli menjadi cekak. Harga paling murah Rp. 20 ribu. Bros, cincin dan beberapa pernak-pernik lain, bisa dibawa pulang dengan harga tersebut. Lain lagi dengan replika delman yang ia pajang. “Harganya 100 ribu,” kata Sutejo. Barang ini harganya paling mahal diantara barang kerajinan lain, yang ia tawarkan di showroomnya.

Dalam sebulan, ia bisa mengantongi penghasilan kotor hingga Rp. 1 juta. Jika dikurangi dengan ongkos produksi, Sutejo bisa meraup untung hingga Rp. 800 ribu. Namun, keuntungan tersebut tak bertahan lama. Bencana gempa bumi yang merusakan Pasar seni Gabusan menjadi salah satu penyebabnya.

Kini, ia hanya bisa memperoleh penghasilan bersih Rp. 500 ribu sebulan. “Malah terkadang hanya Rp 200 ribu,” ungkapnya. Sepinya pengunjung masih menjadi kendala. Meski begitu, ia merasa bakal ada perubahan. Ini dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang saat liburan lebaran beberapa saat lalu. Ia berharap, pada masa mendatang, koceknya bakal bertambah tebal.

Membuka ruang usaha di Pasar Seni Gabusan sebenarnya tidak ruwet. Sutejo mengatakan, perajin hanya diwajibkan menyerahkan 10 persen dari penghasilan dalam sebulan, kepada pengelola. Selain itu, biaya listrik menjadi tanggungan perajin. Namun pajak sebesar 10 persen tersebut kini tak jelas rimbanya. “Setelah gempa, pengelola belum mewajibkan pembayaran,” ujar Sutejo.

Setelah gempa, terlihat Pasar Seni Gabusan sudah mulai bebenah. Banyak los-los yang sudah dibenahi. Tidak terlihat lagi tumpukan-tumpukan puing bangunan yang berserakan. Selain itu, pihak pengelola juga mulai menggencarkan promosi. Termasuk promosi kepada wisatawan, baik lokal maupun wisatawan asing.

Menurut General Manager Pasar Seni Gabusan, Tribowo S.Naswa, setelah gempa, jumlah pengunjung sudah mulai menggeliat naik. Ini dibuktikan dengan kehadiran pengunjung pada waktu liburan lebaran beberapa saat lalu. Menurut catatan Tribowo, mobil yang datang sebanyak 656 buah. Ini ditambah dengan kehadiran 10 buah bus besar.

Omzet yang tercatat kurang lebih sebesar Rp. 39 juta. Meski begitu, Tribowo berkeyakinan bahwa angka ini masih bisa bertambah. “Banyak yang belum melaporkan hasil penjualannya kepada kami,” tuturnya. Data yang dikeluarkan pihak pengelola menyebutkan bahwa pada bulan April 2007 omzet yang tercatat hampir Rp. 500 juta

Pada bulan Mei memang terjadi penurunan. Namun hal ini tak lama. Pada bulan Juni 2007, tercatat kurang lebih Rp.400 juta. Pada bulan puasa , terjadi penurunan pendapatan perajin secara drastis. Meskipun begitu, apa yang dicapai perajin saat ini merupakan sebuah peningkatan. “Dulu, omzet dalam setahun hanya Rp 100 juta-an,” kata Tribowo.


* * *

Tidak ada komentar: