Selasa, 02 September 2008

-----Ranah Filsafat Peradaban Eropa-----

Dicuplik dari Novel Filsafat, “Dunia Sophie” – Jostein Gardner, Mizan, Bandung

Pada periode awal filsafat Yunani ini, tema filsafati lebih mengetengahkan pada proses-proses yang terjadi di alam raya sebagai suatu fenomena, yang kemudian lazim disebut Filsafat Alam:

Thales; adalah seorang filosof yang berasal dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia kecil. Dia secara tepat pernah meramalkan gerhana matahari yang terjadi pada sekitar tahun 585 SM. Thales beranggapan bahwa segala sesuatunya bersumber dari air. Thales percaya, air merupakan awal kehidupan manusia dan seluruh kehidupan akan kembali lagi ke air ketika sudah berakhir.

Anaximander; adalah seorang filosof yang juga berasal dari Miletus dan hidup sezaman dengan Thales. Dia menawarkan sebuah antitesis terhadap apa yang pernah dipaparkan oleh Thales. Anaximander beranggapan bahwasanya zat yang merupakan segala sumber benda pastilah sesuatu yang berbeda dari yang diciptakannya. Karena benda-benda yang diciptakannya serba terbatas, maka tentulah sesuatu yang menciptakan benda yang serba terbatas tersebut pasti “tak terbatas”, dan dia menyangkal air, yang menurutnya mempunyai sifat yang sangat terbatas, sebagai sebuah sumber dari segala sesuatu.

Anaximenes (kira-kira 570-526 SM); Dia beranggapan bahwa segala sesuatu itu berasal dari udara atau uap. Anaximenes mengenal teori yang diperkenalkan sebelumnya oleh Thales tantang air, tapi dia mempertanyakan darimana asalnya air tersebut? Dia menegaskan air adalah uap yang dipadatkan. Jika hujan turun, dia beranggapan bahwa air diperas dari udara, jika air diperas lagi secara lebih keras, maka dia berpikiran udara atau uap akan menjadi tanah. Sedangkan api, menurutnya adalah udara yang dijernihkan.



Pada dasarnya ketiga filosof dari Miletus itu percaya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber dari segala hal. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana suatu zat dapat berubah menjadi sesuatu yang lain? Disinilah kemudian muncul filsafat tentang masalah perubahan:  

Parmenides (kira-kira 540-480 SM); Dia beranggapan segala sesuatunya pasti ada. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan, dan tidak ada satupun yang ada menjadi tiada. Dengan kata lain, Parmenides mengatakan bahwa segala sesuatu yang berada di dunia itu bersifat abadi. Lebih jauh dia menegaskan tidak ada perubahan yang aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.
Permenides sadar secara sepenuhnya bahwa sifat alam adalah berubah alias dinamis, karena bagaimanapun juga semua itu dapat dirasakan oleh indra manusia, namun Parmenides melakukan sebuah gagasan inovatif yang mengkomparasikan antara segala sesuatu yang dapat dilihat oleh indra manusia dan akal manusia. Jika dipaksa memilih antara bergantung pada perasaan atau pada akalnya, Parmenides lebih mememilih untuk bergantung pada akal sebagai manifestasi kehidupan manusia. Secara jujur Parmenides mengungkapkan, bahwasanya dia tidak mempercayai sesuatu meskipun dia sudah melihat secara langsung. Indra-indra manusia, menurutnya memberikan gambaran yang tidak tepat tentang segala sesuatu yang ada di dunia. Maka tugas seorang filosof adalah untuk mengungkapkan segala sesuatu bentuk ilusi perseptual. Keyakinan inilah yang kemudian sebagai titik awal untuk bangkitnya faham rasionalisme.

Heraclitus (kira-kira 540-480 SM); Filosof yang berasal dari Ephesus di Asia kecil ini, beranggapan bahwa perubahan terus menerus atau aliran merupakan ciri dari alam yang paling mendasar. “Segala sesuatu terus mengalir,” kata Heraclitus. Segala sesuatu mengalami perubahan terus menerus dan selalu bergerak, tidak ada yang menetap. “Kita tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, kalau saya melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, maka saya atau sungainya yang berubah,” lanjut Heraclitus.
Heraclitus menyatakan bahwa segala seuatu yang ada di dunia ini mempunyai ciri berkebalikan. Kita tidak akan merasakan sehat jika kita tidak pernah merasakan sakit. Jika kita tak pernah merasa lapar, maka kitapun tak pernah bisa merasakan kenyang. Segala sesuatu yang baik atau buruk mempunyai tempat sendiri-sendiri di dunia, tanpa saling pengaruh-mempengaruhi dari segala sesuatu yang berkebalikan sedemikian rupa, maka dunia tidak akan pernah ada.
Bagi Heraclitus Tuhan dapat “dilihat” dari bentuk berkebalikan tersebut. Tuhan dapat “dilihat” paling jelas dalam perubahan dan pertentangan terus-menerus yang terjadi di alam. Meski manusia tidak selalu berpikir sama atau mempunyai tingkatan akal yang sama, Heraclitus yakin ada semacam “akal universal” yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam. “Akal universal” ini yang disebutnya Logos atau Tuhan.

Permenidus dan Heraclitus, sama-sama mengemukakan dua hal:
Permenides menyatakan;
1. Tidak ada sesuatu yang berubah.
2. Bahwasanya kemudian persepsi indra manusia tidak dapat dipercaya.

Heraclitus menyatakan;
1. Segala sesuatu dapat berubah (segala sesuatu mengalir).
2. Bahwasanya persepsi indra manusia dapat dipercaya sepenuhnya.

Adalah Empedocles (kira-kira 490-430 SM) yang berasal dari Sicilia, yang mencoba melakukan sintesa terhadap keduanya. Empedocles menyatakan mereka benar dalam salah satu penegasannya, akan tetapi kurang tepat mengenai penegasan yang lain. 
Empedocles mendapati, bahwasanya penyebab dari pertentangan mereka adalah kedua filosof tersebut hanya mengemukakan adanya satu unsur saja. Empedocles menyatakan bahwasanya air murni tetaplah air murni dan tak bisa berubah menjadi seekor ikan atau kupu-kupu. Maka, Permenides benar ketika mengatakan bahwa segala sesuatu tidak berubah. Tapi dibalik itu semua, Empedocles setuju dengan Heraclitus bahwa kita harus mempercayai bukti dengan indra-indra kita. Dengan begitu Empedocles berkesimpulan, segala sesuatu yang ada di alam tidak mungkin dibentuk hanya dengan satu unsur. Ada empat unsur, yang menurut Empodocles membentuk kehidupan, yaitu tanah, air, api dan udara. Semua proses alam disebabkan oleh menyatu dan terpisahnya keempat unsur ini. Semua benda merupakan campuran dari keempat unsur ini, namun dengan proporsi yang beragam. 
Sebagai sebuah contoh adalah proporsi warna yang ada dalam lukisan, jika seorang pelukis hanya mempunyai warna merah untuk lukisannya, maka dia tidak dapat membuat gambar daun yang berwarna hijau. Namun jika sang pelukis mempunyai warna kuning, merah, biru, hitam, sang pelukis dapat memilik ratusan warna yang berbeda, sebab dia dapat mencampurkan warna-warna itu dalam takaran yang berbeda. Kemudian ada sebuah pertanyaan yang menarik, bagaimanakah atau proses seperti apakah yang bisa bisa membuat benda “tercipta” atau “terpisah”?
Dalam hal ini Empedocles percaya, bahwasanya proses yang terjadi di alam tak lepas dari “cinta” dan “perselisihan”. Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. Yang paling menarik adalah ketika Empedocles menarik kesimpulan, bahwa mata manusia normal terdiri atas unsur-unsur tanah, air, api dan udara. Maka “tanah” di mata manusia bisa melihat unsur tanah yang ada di sekitarnya. Begitupun juga dengan api, udara dan air.

Anaxagoras (500-428 SM) adalah filosof yang tidak setuju bahwa satu bahan dasar tertentu –air, misalnya- dapat diubah menjadi segala sesuatu yang kita lihat di alam ini. Dia berpendapat bahwa alam diciptakan dari partikel-partikel yang sangat kecil yang tak dapat dilihat oleh mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, namun dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Sedikit banyak tubuh manusia tercipta dengan cara yang sama. Jika seseorang melepaskan sel kulit dari jarinya; maka nukleus itu tidak hanya mengandung ciri-ciri kulitnya, tapi juga akan mengungkapkan jenis mata apa yang dimiliki oleh manusia tersebut, warna kulitnya, jumlah dan jenis jari-jarinya, dan sebagainya. Setiap sel tubuh manusia membawa cetak biru dari cara terususunnya sel-sel yang lain. 
Ketika Empedocles menyatakan bahwa bersatunya unsur-unsur banyak dipengaruhi oleh “cinta”, maka Anaxogoras mengatakan “keteraturan” sebagai semacam kekuatan, yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia. Anaxogoras menyebut kekuatan ini sebagai pikiran atau akal (nous).
Anaxogoras sangat tertarik pada astronomi, dia yang pertama mengeluarkan pernyataan bahwa bulan tidak mempunyai cahaya sendiri-cahaya bulan berasal dari matahari. Dan dia mengeluarkan kata-kata yang pada waktu itu dianggap sangat kontroversial, “Matahari bukanlah dewa, tapi hanyalah seonggok batu merah-panas!”


Tidak ada komentar: