Moral menjadi tuntutan utama untuk memperbaiki nasib bangsa. Perbaikan moral sebaiknya dilakukan mulai dari diri sendiri.
Tatkala keadaan masih sepi seperti itu, Sugeng Mardiyono datang membawa segepok kertas. Ia keluarkan kunci dari kantong bajunya. Dibukanya pintu kantor yang masih tertutup rapat. Arloji di pergelangan tangan kirinya masih menunjuk angka 6.30. Pria berusia 58 tersebut duduk di atas kursi dan mulai memeriksa jadwal pekerjaan yang telah tersedia.
Begitulah rutinitas pria yang saat ini menjabat sebagai Rektor UNY itu. Hampir tiap hari ia melakukan hal yang sama. Datang ke kantor tepat pukul setengah tujuh pagi. Membuka pintu sendiri dan memulai aktivitas sedini mungkin. “Saya senang melakukan hal ini,” ujarnya. Selain itu, ia berharap apa yang dilakukannya menjadi contoh bagi anak buahnya yang lain.
Baginya, kedisiplinan merupakan hal yang berharga. Dengan disiplin, ia mencoba membangun UNY menjadi sebuah universitas yang terkemuka. Ini menjadi cita-citanya semenjak pertamakali ia didaulat untuk menjadi Rektor. Tak hanya membenahi disiplin, moralitas anak-anak didik juga diperbaiki sedikit demi sedikit.
Demikian pula dengan kondisi negara kita. Menurut Sugeng, pembenahan moral menjadi salah satu cara untuk membenahi kesemrawutan yang ada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa moralitas bangsa kita berada dalam titik nadir. Terutama moral para penegak hukum yang belum tertata.
Penyimpangan yang terjadi di negara kita harus segera diperbaiki. Jika tidak diperbaiki secepatnya, negara bisa berada dalam kondisi tidak stabil. Ini sudah dibuktikan dengan beberapa kejadian beberapa waktu lalu. Harga-harga kebutuhan pokok yang mulai merangkak naik dan kelangkaan minyak di tengah-tengah masyarakat. Padahal dua hal tersebut merupakan bahan dasar yang digunakan masyarakat tiap hari.
Sebenarnya proses reformasi merupakan sebuah tonggak menuju ke sebuah era yang lebih baik. Namun ternyata, harapan masyarakat tidak sepenuhnya bisa terbukti. Korupsi masih menjadi permasalahan yang berlarut-larut. Bahkan terkesan bahwa korupsi yang terjadi lebih sering terjadi dan menjadi hal yang lumrah dilakukan. “Ini kembali kepada pribadi masing-masing, moral pribadi yang harus segera ditata,” tukas Sugeng.
Sebenarnya, kebangkitan nasional bisa dijadikan momentum untuk berkaca pada pengalaman yang ada. Kenyataannya, setelah lepas dari proses penjajahan, bangsa Indonesia masih saja terpuruk. Artinya, ada yang salah dalam penanganan bangsa. Salah dalam segi ekonomi, sosial dan bahkan politik. Dari segi pendidikan, Sugeng juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia belum berjalan ke arah yang benar.
Pendidikan belum mampu menyentuh moral anak didik untuk menuju ke arah yang baik. Banyak anak didik berperilaku tidak pada tempatnya. Sugeng menimpali bahwa pendidikan tak melulu berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Moral dan etika serta sikap yang religius menjadi sarana yang afdhol untuk merambah pendidikan yang lebih bermartabat. Ilmu pengetahuan dan agama berjalan seiring dan saling melengkapi satu sama lain.
Ia mencontohkan sebuah pisau. Pisau adalah buatan manusia. Banyak sekali kegunaan pisau yang bisa dipergunakan. Bagi manusia, pisau bisa membantu untuk menguliti daging, sehingga bisa dikonsumsi manusia. Kebanyakan ibu rumah tangga menggunakannya untuk memotong sayur.
Namun di lain sisi, pisau juga bisa dipergunakan untuk sesuatu yang bernilai negatif. Ia mencontohkan, ketika pisau tersebut dipergunakan untuk melukai, bahkan untuk membunuh orang lain. Ini membuktikan bahwa pisau bisa bermata dua dan berfungsi ganda. “Tergantung manusia yang mempergunakannya,” kata Sugeng.
Dengan contoh ini, ia coba membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak berada pada jalur yang salah. Yang kemudian patut untuk disalahkan adalah ketika pisau tersebut sudah berada di tangan manusia. Hal tersebut diserahkan kepada manusia, apakah akan mempergunakan ilmu pengetahuan ke jalan yang baik ataukah tidak. Artinya, ini kembali bertumpu pada pribadi masing-masing dan moral anak manusia.
Menurut Sugeng, penataan moral sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Pemimpin negara bisa menjadi tulang punggung dalam penataan moral pejabat publik. Pada kenyataannya, pemimpin negara inilah yang biasanya dijadikan contoh bawahannya. Dengan tindak tanduk dan tingkah laku yang benar, maka negara bisa diarahkan untuk kemakmuran rakyat.
Sugeng mencontohkan hal yang paling mudah dilakukan untuk penataan moral ini. Dimulai dari pribadi masing-masing. Jadi, ketika akan melakukan sesuatu, maka kita harus mengingat bahwa Tuhan melihat apa yang kita perbuat. “Sampai perbuatan sekecil apapun, perbuatan kita ada yang melihanya,” ujar rektor yang sudah bergelar profesor ini.
Jika hal itu terus menerus dilakukan, maka segala tingkah laku kita akan terjaga. Hal itu berlaku bagi siapa saja. Berbuat sesuatu yang melanggar norma atau agama, tentu dalam hatinya akan merasa bersalah. “Perubahan sebaiknya dilakukan melalui pribadi masing-masing,” kata Sugeng.
Perubahan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara yang paling mudah dilakukan adalah mencontoh perilaku orang yang dianggap mempunyai tabiat yang tidak tercela. Ia pun mengurai solusi. Apa yang telah dilakukan oleh ESQ, melalui bermacam bentuk pelatihan juga bisa dilakukan. Apa yang dilakukan ESQ juga bisa membenahi moral spiritual seseorang.
Jika moral bangsa Indonesia segera dibenahi, Sugeng merasa yakin akan suatu hal. Tak butuh waktu lama, Indonesia akan bangkit dan memperoleh kejayaan. Dengan moral yang tertata rapi, maka kunci keberhasilan hidup manusia akan tercapai. Masing-masing akan tahu fungsi dan tugas, tanpa menyalahkan orang lain.
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai modal yang berharga. Umat muslim di republik ini kuranglebih berjumlah 90 persen dari penduduk yang ada. Jika umat muslim bisa dijadikan contoh dalam segala tindak tanduk moral dan etika, Sugeng menjamin bahwa Indonesia akan berdiri menjadi sebuah negara yang terdepan di bandingkan dengan negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar