Pondok Pesantren ini cukup unik. Bentuknya lain dengan pondok pesantren pada umumnya. Berbentuk limasan yang terbuat dari kayu jati. Penduduk sekitar juga mengenalnya dengan sebutan pondok pesantren Limasan Jati. Dengan luas kurang lebih 3 ribu meter persegi, bangunan tersebut terletak di Kulon Gunung Sentono, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Tempat ini dibangun oleh Fuad Riyadi. Selain membangun, ia juga dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut. Sebelumnya, mereka menempati rumah sewa di daerah Wonokromo, Bantul. Saking banyaknya orang yang mengaji, dan karena keinginan untuk mempunyai tempat sendiri, maka Fuad memutuskan untuk membeli sebidang tanah. Tanah tersebut terletak di tengah sawah.
Saat gempa memporak-porandakan Bantul, daerah tersebut termasuk salah satu daerah yang paling parah. Banyak reruntuhan bangunan bertebaran di tepi-tepi jalan. Ketika proses tanggap darurat mulai berlangsung, masyarakat kesulitan untuk membuang reruntuhan. Mereka mendapat ide untuk mengumpulkan reruntuhan di sebidang tanah milik Fuad.
Pria berusia 37 tahun itu ternyata tidak keberatan. Ide tersebut ia sambut secara hangat. Sesaat kemudian, banyak reruntuhan bangunan yang mampir di tanah kosong tersebut. Bersamaan dengan itu, guru bahasa Indonesia SMA 2 Banguntapan, Bantul memang berniat untuk sesegera mungkin membangun pondok pesantren.
Ide cemerlangpun datang. Daripada membuang semua sisa reruntuhan, ada baiknya untuk dipergunakan. Banyak batu bata yang masih bagus kondisinya. Sisa-sisa kayu juga tersedia. Alangkah lebih baik jika dipergunakan secara maksimal. Tak lama berselang, ide tersebut ia lakukan.
Alhasil, saat ini telah berdiri bangunan yang menggugah minat banyak orang. Selain menimba ilmu agama, banyak orang yang terkagum dengan bentuk bangunan yang berbentuk limasan. Ini ditunjang dengan suasana alam pedesaan yang berhawa nyaman dan pemandangan yang cukup memikat hati.
Ia menyiapkan bangunan pondok pesantren yang gampang dikenali orang. “Selain itu harus akrab dengan lingkungan sekitar dan artistik,” ujar mantan sastrawan terkenal tersebut. Ia mengatakan, bahwa pondok tersebut untuk menjadi rumah singgah bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu agama. Tidak mempedulikan status sosial dan kecenderungan politik seseorang.
Siapa saja yang belajar di sana tidak dipungut biaya sepeserpun. Biasanya, pengajian di mulai setelah sholat isya’. Tak hanya santri yang bisa menuntut ilmu di sana, bahkan orang yang bukan santri diperkenankan untuk menimba ilmu. Mereka yang biasa datang ke pondok dan tidak bermukim di lingkungan pondok disebut santri laju.
Jumlah santri laju ini mendekati 300 orang. Sedangkan jumlah santri mukim kuranglebih 30 orang. Tak ada beban biaya yang dikenakan kepada santri mukim dan santri laju ini. Semuanya gratis tanpa pungutan sepeserpun. Bahkan sesuai denga kebiasaan, setelah pengajian terlaksana, para santri biasanya makan bersama.
Makanan ini disediakan oleh pondok pesantren. Bermacam ragam menu tersedia. Paling tidak hal ini membangkitkan semangat belajar. Tak hanya gelaran makan bersama yang dinanti, para santri juga diajak diskusi mengenai perkembangan keadaan. Diskusi tak hanya terbatas pada ilmu agama, tapi juga kewirausahaan, politik dan juga ilmu alih teknologi. Keadaan inilah yang menjadi daya tarik sendiri bagi pondok pesantren Roudlotul Fatihah ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar