Selasa, 02 September 2008

SATE KLATHAK

Tangan Ardani lincah mengiris daging kambing menjadi potongan-potongan kecil. Setiap
delapan irisan daging, ia tancapkan pada satu jeruji roda sepeda. Setelah dicelupkan beberapa lama di sebuah wadah berisi bumbu, irisan daging itu dipanggangnya di atas tungku. Agar api pada tungku tetap menyala, ia sengaja menyiapkan sebuah kipas angin berukuran kecil.

Lima tahun sudah, Ardani membuka warung sate klathak ini. Selain karena menggunakan jeruji sepeda, bumbu yang digunakan juga cukup khas. Bumbunya cukup sederhana. Hanya ada bawang putih dan garam. Namun, rasanya sungguh gurih dan lezat. Tak lalah dengan aroma rasa sate yang biasanya.

Sebelumnya, pria berusia 32 tahun ini diajari sang kakak yang sudah lebih dulu membuka warung sate. Setelah beberapa bulan belajar dan telah cukup modal, ia membuka usahanya sendiri. Ia menyewa sebidang tanah di tepi jalan Imogiri Timur, tak jauh dari usaha warung sate milik sang kakak.

Ia harus merogoh kocek Rp 1,3 juta per tahun untuk tanah berukuran 9 x 5 meter itu. “Kebetulan tanah itu punya saudara saya sendiri,” kata Ardani. Lantas. Di atas tanah itu ia mendirikan bangunan untuk warung satenya. Dindingnya dari batako, beratapkan seng. Bangunan tersebut kelihatan baru. Pasalnya, warung itu luluh lantak terkena gempa setahun lalu.

Ia lalu membenahinya sendiri. Menghabiskan dana kurang lebih Rp 7 juta. “Belum ada bantuan pemerintah, mas,” katanya. Ia menambahkan, untuk kegiatan perekonomian, pemerintah belum memberikan bantuan sedikitpun. Ini berbeda dengan rumahnya. Meski dihajar gempa, kini rumahnya sudah berdiri lagi berkat bantuan dari pemerintah.

Ardani mengaku, tiap hari selalu membutuhkan satu ekor kambing untuk warungnya. Seekor kambing bisa dijadikan 100 porsi. Ia pasang harga Rp 10 ribu untuk tiap porsinya. Pada tiap porsinya berisikan dua buah tusuk sate dan sepiring nasi. Bisa juga ditambah dengan sepiring kuah tongseng.

Meski hanya berisikan 2 buah tusuk jeruji sate, tidak berarti mengurangi kenikmatan sate yang bakal di santap. Dagingnya lumayan besar. Rasanya juga cukup gurih. Tak ada sama sekali tambahan bumbu kecap seperti layaknya sate biasanya. Rasa gurih ini didapat langsung dari daging kambing, tanpa olahan bumbu. “Gurihnya berasal dari minyak kambing itu sendiri,” kata Ardani.

Daging kambing yang ia beli adalah daging kambing pilihan. Untuk warung sate klathaknya ini, ia khusus membeli daging kambing gembel. Usianya tak lebih dari 3 bulan. Ia sengaja tak memilih daging kambing jawa. “Bau daging kambing jawa itu prengus (bau tak enak-red),” tambah pria yang saat ini telah dikarunai 2 orang anak ini.

Untuk sate klathak ini, Ardani membutuhkan kambing yang baunya tidak menyengat. Selain itu, ia tak bisa sembarangan menusuk daging ke jeruji sepeda. Perlu keahlian tersendiri. Sebelum di tusuk, daging tersebut di buang kulit arinya. Kulit ari daging kambing gembel ini dipercaya bisa membuat dagingnya tahan lama.Selain itu, perlu diperhatikan alur serat daging yang akan dipanggang. Ini untuk menghindari kerasnya daging ketika akan ditusuk.

Ardani mengaku, tiap hari ia menghabiskan satu ekor kambing. Ia buka warung satenya dari pagi hari, pukul 9 pagi hingga menjelang tengah malam. Tergantung habisnya daging yang ia sediakan. Namun, biasanya warung ini tutup hingga jam 12 malam. Apalagi, saat hari libur.

Ardani menjalankan warung ini tak sendirian. Ia dibantu oleh 5 orang karyawan, yang secara bergantian menjaganya. Usaha yang dijalankan Ardani merupakan usaha keluarga. Secara turun temurun, usaha membuak warung sat telah dijalani keluarganya puluhan tahun lalu.

Pertama, yang melakoni usaha ini adalah sang kakek, yang kebetulan penduduk setempat. Profesi ini kemudian menurun ke orang tuanya dan dilanjutkan oleh si Ardani dan kakaknya. Dengan nama warung sate “Pak Nyong”, Ardani mulai kebanjiran pengunjung. Warungnya terletak di tepi jalan Imogiri Timur Km 10, Jejeran, Wonokromo, Kecamatan Pleret, Bantul.

Tidak ada komentar: