Senin, 06 Oktober 2008
Perajin Gabusan
Lebih kurang dua dasawarsa, Suratijan menekuni bidang kerajinan ini. Semula, ia lebih berkonsentrasi pada kerajinan kulit. Untungnya cukup lumayan. Saat itu, harga bahan kulit juga belum melambung tinggi. Ini berlangsung hingga akhir tahun 2000. Selepas itu, permintaan akan kerajinan kulit jauh menurun.
Ini membuat Suratijan berpikir ulang. Ia tak hanya menggeluti kerajinan kulit. Kebetulan, kreativitasnya telah dikenal banyak orang. Termasuk kerajinan menggunakan bahan mendhong, yang berbentuk tas, tempat amplop, tempat pensil dan stopmap. Bahkan, setelah Pasar Seni Gabusan di buka, banyak permintaan datang untuk membuat kerajinan itu.
Suratijan mengaku belum membuka showroom kerajinannya di Pasar Seni Gabusan. Kurangnya modal menjadi kendala terbesarnya. Ia hanya mampu mensuplai kerajinan sesuai permintaan para perajin di pasar seni tersebut. Namun, permintaan ini juga tak bertahan lama. Pasalnya, bencana gempa bumi membuat permintaan berhenti. Pasar seni tersebut juga berantakan lantaran terkena dampak gempa.
Rumah Suratijan yang berada di daerah Manding, Bantul, juga runtuh tak berbekas. Terpaksa ia merelakan rumah berukuran 9x15 m² menguap begitu saja. Kini, ia harus ikhlas tinggal di rumah sederhana berukuran 9x4 m², bersama isteri dan kedua orang anaknya yang sudah beranjak remaja.
Hampir sebulan lebih Suratijan menganggur. Konsentrasinya terpecah antara melanjutkan pekerjaan dan membangun kembali rumahnya. Selain itu, dua buah mesin jahitnya tak bisa berjalan normal karena tertumpuk reruntuhan bangunan. Untunglah, bantuan datang dari Bank Indonesia (BI). Ia mendapatkan ganti 2 buah mesin jahit yang lebih modern. Menggunakan listrik dan tidak terlalu melelahkan, bila dibandingkan mesin jahit manual.
Meski begitu, Suratijan tetap mengharapkan adanya bantuan permodalan untuk perajin kecil sepertinya. “Kalau modal ada, produksi juga bisa bertambah,” kata lelaki murah senyum ini. Biasanya, orang yang memesan barang tidak langsung membayar penuh. Hanya uang panjar sebesar 30% yang diberikannya. Ia pun baru bisa bekerja ketika uang panjar sudah masuk kantong.
Nasib Suratijan tak jauh berbeda dengan Sutejo. Mereka sama-sama menggantungkan hidupnya dari barang kerajinan yang mereka hasilkan. Hanya saja, Sutejo lebih beruntung. Pria berusia 35 tahun ini mempunyai showroom sendiri. Berbagai bentuk kerajinan berbahan dasar perak ia pajang di los 15, Pasar Seni Gabusan.
Hampir sepuluh tahun lebih, Sutejo menggeluti dunia kerajinan ini. Berawal dari kecintaannya pada seni, ia mulai melirik kerajinan perak sebagai ladang hidup. Ini ditambah dengan peran keluarga, yang selalu mendukung untuk melestarikan tradisi membuat perak.
Apa yang dilakukan Sutejo merupakan usaha turun temurun. Ayahnya mengajari dasar-dasar membuat perak. Berbekal kreativitas yang ada, ia mengembangkan jenis-jenis produk menjadi bermacam-macam bentuk. Selain cincin, Sutejo membuat bros, replika delman dan lainnya.
Sebagai bahan dasarnya, Sutejo menggunakan acir. Ini kemudian dicampur dengan 5 gram tembaga. “Kalau tidak dicampur, nggak bisa jadi barang kerajinan,” katanya. Setelah selesai, baru bisa dibentuk. Tak hanya itu, pembeli juga bisa memesan barang sesuai keinginan mereka.
Sutejo tinggal di daerah Kowen I, Timbulharjo, Sewon, Kabupaten Bantul. Nama anak semata wayangnya, Daffa, diabadikagn menjadi label usahanya. Daffa Silver, dianggap label usaha yang membawa keberuntungan. Setidaknya, hal itu yang diyakini Sutejo hingga sekarang.
Selama menggelar barang kerajinannya di Pasar Seni Gabusan, Sutejo banyak terbantu. Penghasilannya lambat laun meningkat. Semula tak banyak yang mengenal hasil kerajinannya. Seiring dengan mulai ramainya pasar seni ini, banyak orderan yang masuk. Tentu saja ini berimbas pada taraf kehidupannya, yang sedikit demi sedikit turut meningkat.
Di los 15 yang ia tempati, merupakan los khusus untuk kerajinan perak. Bahkan, mereka sempat membuat paguyuban. Dengan membayar uang Rp 150 ribu, seorang perajin bisa menjadi anggota paguyuban tersebut. Menurut penuturan Subandi, kawan karib Sutejo, yang juga membuka usaha di pasar seni ini, banyak manfaat yang bisa diperoleh ketika membentuk paguyuban.
“Jadinya tidak ada persaingan harga,” tutur Subandi. Selain itu, anggota paguyuban bisa saling tolong menolong dan memberi perhatian satu sama lain. Menurut Sutejo, ikatan keluarga bakal menjadi lebih erat. Ia lantas memberi contoh. Beberapa waktu lalu ada sanak saudara anggota paguyuban yang meninggal. Anggota paguyuban yang lain lantas memberikan bantuan dari dana kas yang ada. “Paling tidak kami memberikan perhatian,” kata Sutejo.
Banyak hasil kerajinan yang ia pamerkan. Harga yang ia tawarkan tak lantas membuat kantong pembeli menjadi cekak. Harga paling murah Rp. 20 ribu. Bros, cincin dan beberapa pernak-pernik lain, bisa dibawa pulang dengan harga tersebut. Lain lagi dengan replika delman yang ia pajang. “Harganya 100 ribu,” kata Sutejo. Barang ini harganya paling mahal diantara barang kerajinan lain, yang ia tawarkan di showroomnya.
Dalam sebulan, ia bisa mengantongi penghasilan kotor hingga Rp. 1 juta. Jika dikurangi dengan ongkos produksi, Sutejo bisa meraup untung hingga Rp. 800 ribu. Namun, keuntungan tersebut tak bertahan lama. Bencana gempa bumi yang merusakan Pasar seni Gabusan menjadi salah satu penyebabnya.
Kini, ia hanya bisa memperoleh penghasilan bersih Rp. 500 ribu sebulan. “Malah terkadang hanya Rp 200 ribu,” ungkapnya. Sepinya pengunjung masih menjadi kendala. Meski begitu, ia merasa bakal ada perubahan. Ini dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang saat liburan lebaran beberapa saat lalu. Ia berharap, pada masa mendatang, koceknya bakal bertambah tebal.
Membuka ruang usaha di Pasar Seni Gabusan sebenarnya tidak ruwet. Sutejo mengatakan, perajin hanya diwajibkan menyerahkan 10 persen dari penghasilan dalam sebulan, kepada pengelola. Selain itu, biaya listrik menjadi tanggungan perajin. Namun pajak sebesar 10 persen tersebut kini tak jelas rimbanya. “Setelah gempa, pengelola belum mewajibkan pembayaran,” ujar Sutejo.
Setelah gempa, terlihat Pasar Seni Gabusan sudah mulai bebenah. Banyak los-los yang sudah dibenahi. Tidak terlihat lagi tumpukan-tumpukan puing bangunan yang berserakan. Selain itu, pihak pengelola juga mulai menggencarkan promosi. Termasuk promosi kepada wisatawan, baik lokal maupun wisatawan asing.
Menurut General Manager Pasar Seni Gabusan, Tribowo S.Naswa, setelah gempa, jumlah pengunjung sudah mulai menggeliat naik. Ini dibuktikan dengan kehadiran pengunjung pada waktu liburan lebaran beberapa saat lalu. Menurut catatan Tribowo, mobil yang datang sebanyak 656 buah. Ini ditambah dengan kehadiran 10 buah bus besar.
Omzet yang tercatat kurang lebih sebesar Rp. 39 juta. Meski begitu, Tribowo berkeyakinan bahwa angka ini masih bisa bertambah. “Banyak yang belum melaporkan hasil penjualannya kepada kami,” tuturnya. Data yang dikeluarkan pihak pengelola menyebutkan bahwa pada bulan April 2007 omzet yang tercatat hampir Rp. 500 juta
Pada bulan Mei memang terjadi penurunan. Namun hal ini tak lama. Pada bulan Juni 2007, tercatat kurang lebih Rp.400 juta. Pada bulan puasa , terjadi penurunan pendapatan perajin secara drastis. Meskipun begitu, apa yang dicapai perajin saat ini merupakan sebuah peningkatan. “Dulu, omzet dalam setahun hanya Rp 100 juta-an,” kata Tribowo.
* * *
Pasar Seni Gabusan
Pasar Seni Gabusan berlokasi di Jalan Parangtritis, Km. 9, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Luasnya kurang lebih 6 hektar tanah. Pembangunannya menelan biaya tak kurang dari Rp. 7 milyar. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Idham Samawi, Bupati Bantul, pada 23 Desember 2003 dan selesai pada Oktober 2004.
Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur DIY, menjadi saksi dibukanya Pasar Seni Gabusan untuk khalayak umum. Pada 17 November 2004, ia melakukan pembukaan secara simbolik. Ini sebagai pertanda bakal dimulainya kegiatan kerajinan hasil karya warga Bantul.
Pemerintah menyadari bahwa industri kerajinan di Kabupaten Bantul bisa menjadi andalan warga di masa mendatang. Ini terbukti dengan banyaknya perajin yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. “Menempati peringkat ke dua setelah sektor pertanian,” ujar Tribowo S.Naswa, General Manager Pasar Seni Gabusan.
Tak bisa sembarangan perajin bisa menempati los yang tersedia di sana. Pihak pengelola menomorsatukan perajin asal Bantul. Pasalnya, pembangunan pasar seni ini berasal dari kantong pemda dan bertujuan untuk mengangkat taraf perekonomian para perajin. Banyak para perajin di Bantul, yang belum mampu melakukan transaksi ekspor sendiri.
Para perajin yang menempati los tak dibebani biaya apapun. Hanya biaya listrik yang ditanggung nya. Pihak pengelola masih berpatokan pada bahwa siapa saja bisa menempati los. Syaratnya, ia merupakan warga Bantul dan mempunyai unit usaha di bidang kerajinan.
Bermacam ragam jenis kerajinan yang tersedia di pasar seni ini. Kerajinan yang berasal dari kayu, kulit dan logam lebih banyak mendominasi. Meski begitu, kerajinan keramik dan tekstil juga bisa ditemukan. Selain sebagai pasar jual beli, Pasar Seni Gabusan juga menyediakan pasar online. Tersedia fasilitas internet menggunakan WiFi Hotspot.
Bencana gempa bumi yang meluluhlantakkan Bantul beberapa waktu lalu, menggoyangkan pasar seni ini. Banyak bangunan terkena imbasnya. Beberapa los kerajinan yang rusak, sehingga para perajin terpaksa tak bisa bisa menjual hasil kerajinannya. Tentu saja berimbas kepada penghasilan mereka yang menjadi menurun secara drastis. “Saya bisa katakan bahwa saat itu pasar seni ini lumpuh total,” tambah Tribowo.
Para perajin juga kebingunan. Alat-alat produksi mereka rusak. Di tambah dengan bangunan rumahnya yang juga turut lebur. Secara otomatis, para perajin itu berhenti beroperasi. Untungnya, banyak bantuan mengalir. Cukup diakui, perhatian dunia saat itu memang tertuju pada Bantul.
Pada bulan September 2006, Pasar Seni Gabusan mendapat bantuan dari Exxon. Semula, Exxon akan membantu sektor perumahan. Namun, dengan bagitu banyaknya bantuan untuk sektor itu, Exxon memutuskan untuk mengalihkan bantuan untuk pemulihan ekonomi. Tentunya, melalui pembangunan kembali pasar seni ini.
“Kita betul-betul tertolong oleh Exxon,” kata Tribowo. Salah satu programnya adalah pembuatan sawung-sawung (gubuk-red) sementara. Tujuannya, agar bisa ditempati para perajin untuk kembali menggelar barang olahannya itu. Selain itu, bantuan Exxon juga meliputi perbaikan alat industri dan penyebaran promosi.
Bantuan Exxon menjadi sebuah tanda kebangkitan kembali Pasar Seni Gabusan. Namun perusahaan minyak itu meminta sebuah syarat kepada pemda Bantul. Pemda Bantul diharapkan segera membangun kembali pasar seni ini. Bangunan aslinya tetap dipertahankan, agar karasteristiknya tidak hilang begitu saja.
Meski begitu, Tribowo mengingatkan bahwa pasar seni bukanlah seperti pasar yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Memerlukan sebuah proses panjang untuk menjadikan pasar Seni Gabusan lebih di kenal masyarakat. Namun, hal ini bukan lantas membuat pihak pengelola berpangku tangan. Kegiatan promosi sering dilakukan, agar pasar seni ini lebih dikenal luas.
Saat ini, sebanyak 444 perajin yang ada. Mereka menempati 16 buah los yang tersedia di Pasar Seni Gabusan ini. Tersedia 362 kapling, yang sudah diisi 296 kapling. Los yang disediakan berukuran 2x3 dan 3x3 m². Terdapat juga dua unit gardu pandang, plaza rakyat, koridor galeri seni, instalasi air bersih. Untuk melayani jumlah pengunjung yang besar, tersedia pula 4 lavatory artistik, berkapasitas 40 kamar toilet. Area parkir bisa ditempati hingga 20 bus.
Selasa, 02 September 2008
Ponpes Roudlotul Fatihah
Tempat ini dibangun oleh Fuad Riyadi. Selain membangun, ia juga dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren tersebut. Sebelumnya, mereka menempati rumah sewa di daerah Wonokromo, Bantul. Saking banyaknya orang yang mengaji, dan karena keinginan untuk mempunyai tempat sendiri, maka Fuad memutuskan untuk membeli sebidang tanah. Tanah tersebut terletak di tengah sawah.
Saat gempa memporak-porandakan Bantul, daerah tersebut termasuk salah satu daerah yang paling parah. Banyak reruntuhan bangunan bertebaran di tepi-tepi jalan. Ketika proses tanggap darurat mulai berlangsung, masyarakat kesulitan untuk membuang reruntuhan. Mereka mendapat ide untuk mengumpulkan reruntuhan di sebidang tanah milik Fuad.
Pria berusia 37 tahun itu ternyata tidak keberatan. Ide tersebut ia sambut secara hangat. Sesaat kemudian, banyak reruntuhan bangunan yang mampir di tanah kosong tersebut. Bersamaan dengan itu, guru bahasa Indonesia SMA 2 Banguntapan, Bantul memang berniat untuk sesegera mungkin membangun pondok pesantren.
Ide cemerlangpun datang. Daripada membuang semua sisa reruntuhan, ada baiknya untuk dipergunakan. Banyak batu bata yang masih bagus kondisinya. Sisa-sisa kayu juga tersedia. Alangkah lebih baik jika dipergunakan secara maksimal. Tak lama berselang, ide tersebut ia lakukan.
Alhasil, saat ini telah berdiri bangunan yang menggugah minat banyak orang. Selain menimba ilmu agama, banyak orang yang terkagum dengan bentuk bangunan yang berbentuk limasan. Ini ditunjang dengan suasana alam pedesaan yang berhawa nyaman dan pemandangan yang cukup memikat hati.
Ia menyiapkan bangunan pondok pesantren yang gampang dikenali orang. “Selain itu harus akrab dengan lingkungan sekitar dan artistik,” ujar mantan sastrawan terkenal tersebut. Ia mengatakan, bahwa pondok tersebut untuk menjadi rumah singgah bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu agama. Tidak mempedulikan status sosial dan kecenderungan politik seseorang.
Siapa saja yang belajar di sana tidak dipungut biaya sepeserpun. Biasanya, pengajian di mulai setelah sholat isya’. Tak hanya santri yang bisa menuntut ilmu di sana, bahkan orang yang bukan santri diperkenankan untuk menimba ilmu. Mereka yang biasa datang ke pondok dan tidak bermukim di lingkungan pondok disebut santri laju.
Jumlah santri laju ini mendekati 300 orang. Sedangkan jumlah santri mukim kuranglebih 30 orang. Tak ada beban biaya yang dikenakan kepada santri mukim dan santri laju ini. Semuanya gratis tanpa pungutan sepeserpun. Bahkan sesuai denga kebiasaan, setelah pengajian terlaksana, para santri biasanya makan bersama.
Makanan ini disediakan oleh pondok pesantren. Bermacam ragam menu tersedia. Paling tidak hal ini membangkitkan semangat belajar. Tak hanya gelaran makan bersama yang dinanti, para santri juga diajak diskusi mengenai perkembangan keadaan. Diskusi tak hanya terbatas pada ilmu agama, tapi juga kewirausahaan, politik dan juga ilmu alih teknologi. Keadaan inilah yang menjadi daya tarik sendiri bagi pondok pesantren Roudlotul Fatihah ini.
SATE KLATHAK
delapan irisan daging, ia tancapkan pada satu jeruji roda sepeda. Setelah dicelupkan beberapa lama di sebuah wadah berisi bumbu, irisan daging itu dipanggangnya di atas tungku. Agar api pada tungku tetap menyala, ia sengaja menyiapkan sebuah kipas angin berukuran kecil.
Lima tahun sudah, Ardani membuka warung sate klathak ini. Selain karena menggunakan jeruji sepeda, bumbu yang digunakan juga cukup khas. Bumbunya cukup sederhana. Hanya ada bawang putih dan garam. Namun, rasanya sungguh gurih dan lezat. Tak lalah dengan aroma rasa sate yang biasanya.
Sebelumnya, pria berusia 32 tahun ini diajari sang kakak yang sudah lebih dulu membuka warung sate. Setelah beberapa bulan belajar dan telah cukup modal, ia membuka usahanya sendiri. Ia menyewa sebidang tanah di tepi jalan Imogiri Timur, tak jauh dari usaha warung sate milik sang kakak.
Ia harus merogoh kocek Rp 1,3 juta per tahun untuk tanah berukuran 9 x 5 meter itu. “Kebetulan tanah itu punya saudara saya sendiri,” kata Ardani. Lantas. Di atas tanah itu ia mendirikan bangunan untuk warung satenya. Dindingnya dari batako, beratapkan seng. Bangunan tersebut kelihatan baru. Pasalnya, warung itu luluh lantak terkena gempa setahun lalu.
Ia lalu membenahinya sendiri. Menghabiskan dana kurang lebih Rp 7 juta. “Belum ada bantuan pemerintah, mas,” katanya. Ia menambahkan, untuk kegiatan perekonomian, pemerintah belum memberikan bantuan sedikitpun. Ini berbeda dengan rumahnya. Meski dihajar gempa, kini rumahnya sudah berdiri lagi berkat bantuan dari pemerintah.
Ardani mengaku, tiap hari selalu membutuhkan satu ekor kambing untuk warungnya. Seekor kambing bisa dijadikan 100 porsi. Ia pasang harga Rp 10 ribu untuk tiap porsinya. Pada tiap porsinya berisikan dua buah tusuk sate dan sepiring nasi. Bisa juga ditambah dengan sepiring kuah tongseng.
Meski hanya berisikan 2 buah tusuk jeruji sate, tidak berarti mengurangi kenikmatan sate yang bakal di santap. Dagingnya lumayan besar. Rasanya juga cukup gurih. Tak ada sama sekali tambahan bumbu kecap seperti layaknya sate biasanya. Rasa gurih ini didapat langsung dari daging kambing, tanpa olahan bumbu. “Gurihnya berasal dari minyak kambing itu sendiri,” kata Ardani.
Daging kambing yang ia beli adalah daging kambing pilihan. Untuk warung sate klathaknya ini, ia khusus membeli daging kambing gembel. Usianya tak lebih dari 3 bulan. Ia sengaja tak memilih daging kambing jawa. “Bau daging kambing jawa itu prengus (bau tak enak-red),” tambah pria yang saat ini telah dikarunai 2 orang anak ini.
Untuk sate klathak ini, Ardani membutuhkan kambing yang baunya tidak menyengat. Selain itu, ia tak bisa sembarangan menusuk daging ke jeruji sepeda. Perlu keahlian tersendiri. Sebelum di tusuk, daging tersebut di buang kulit arinya. Kulit ari daging kambing gembel ini dipercaya bisa membuat dagingnya tahan lama.Selain itu, perlu diperhatikan alur serat daging yang akan dipanggang. Ini untuk menghindari kerasnya daging ketika akan ditusuk.
Ardani mengaku, tiap hari ia menghabiskan satu ekor kambing. Ia buka warung satenya dari pagi hari, pukul 9 pagi hingga menjelang tengah malam. Tergantung habisnya daging yang ia sediakan. Namun, biasanya warung ini tutup hingga jam 12 malam. Apalagi, saat hari libur.
Ardani menjalankan warung ini tak sendirian. Ia dibantu oleh 5 orang karyawan, yang secara bergantian menjaganya. Usaha yang dijalankan Ardani merupakan usaha keluarga. Secara turun temurun, usaha membuak warung sat telah dijalani keluarganya puluhan tahun lalu.
Pertama, yang melakoni usaha ini adalah sang kakek, yang kebetulan penduduk setempat. Profesi ini kemudian menurun ke orang tuanya dan dilanjutkan oleh si Ardani dan kakaknya. Dengan nama warung sate “Pak Nyong”, Ardani mulai kebanjiran pengunjung. Warungnya terletak di tepi jalan Imogiri Timur Km 10, Jejeran, Wonokromo, Kecamatan Pleret, Bantul.
SUGENG MARDIYONO (REKTOR UNY)
Moral menjadi tuntutan utama untuk memperbaiki nasib bangsa. Perbaikan moral sebaiknya dilakukan mulai dari diri sendiri.
Tatkala keadaan masih sepi seperti itu, Sugeng Mardiyono datang membawa segepok kertas. Ia keluarkan kunci dari kantong bajunya. Dibukanya pintu kantor yang masih tertutup rapat. Arloji di pergelangan tangan kirinya masih menunjuk angka 6.30. Pria berusia 58 tersebut duduk di atas kursi dan mulai memeriksa jadwal pekerjaan yang telah tersedia.
Begitulah rutinitas pria yang saat ini menjabat sebagai Rektor UNY itu. Hampir tiap hari ia melakukan hal yang sama. Datang ke kantor tepat pukul setengah tujuh pagi. Membuka pintu sendiri dan memulai aktivitas sedini mungkin. “Saya senang melakukan hal ini,” ujarnya. Selain itu, ia berharap apa yang dilakukannya menjadi contoh bagi anak buahnya yang lain.
Baginya, kedisiplinan merupakan hal yang berharga. Dengan disiplin, ia mencoba membangun UNY menjadi sebuah universitas yang terkemuka. Ini menjadi cita-citanya semenjak pertamakali ia didaulat untuk menjadi Rektor. Tak hanya membenahi disiplin, moralitas anak-anak didik juga diperbaiki sedikit demi sedikit.
Demikian pula dengan kondisi negara kita. Menurut Sugeng, pembenahan moral menjadi salah satu cara untuk membenahi kesemrawutan yang ada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa moralitas bangsa kita berada dalam titik nadir. Terutama moral para penegak hukum yang belum tertata.
Penyimpangan yang terjadi di negara kita harus segera diperbaiki. Jika tidak diperbaiki secepatnya, negara bisa berada dalam kondisi tidak stabil. Ini sudah dibuktikan dengan beberapa kejadian beberapa waktu lalu. Harga-harga kebutuhan pokok yang mulai merangkak naik dan kelangkaan minyak di tengah-tengah masyarakat. Padahal dua hal tersebut merupakan bahan dasar yang digunakan masyarakat tiap hari.
Sebenarnya proses reformasi merupakan sebuah tonggak menuju ke sebuah era yang lebih baik. Namun ternyata, harapan masyarakat tidak sepenuhnya bisa terbukti. Korupsi masih menjadi permasalahan yang berlarut-larut. Bahkan terkesan bahwa korupsi yang terjadi lebih sering terjadi dan menjadi hal yang lumrah dilakukan. “Ini kembali kepada pribadi masing-masing, moral pribadi yang harus segera ditata,” tukas Sugeng.
Sebenarnya, kebangkitan nasional bisa dijadikan momentum untuk berkaca pada pengalaman yang ada. Kenyataannya, setelah lepas dari proses penjajahan, bangsa Indonesia masih saja terpuruk. Artinya, ada yang salah dalam penanganan bangsa. Salah dalam segi ekonomi, sosial dan bahkan politik. Dari segi pendidikan, Sugeng juga merasa bahwa apa yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia belum berjalan ke arah yang benar.
Pendidikan belum mampu menyentuh moral anak didik untuk menuju ke arah yang baik. Banyak anak didik berperilaku tidak pada tempatnya. Sugeng menimpali bahwa pendidikan tak melulu berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Moral dan etika serta sikap yang religius menjadi sarana yang afdhol untuk merambah pendidikan yang lebih bermartabat. Ilmu pengetahuan dan agama berjalan seiring dan saling melengkapi satu sama lain.
Ia mencontohkan sebuah pisau. Pisau adalah buatan manusia. Banyak sekali kegunaan pisau yang bisa dipergunakan. Bagi manusia, pisau bisa membantu untuk menguliti daging, sehingga bisa dikonsumsi manusia. Kebanyakan ibu rumah tangga menggunakannya untuk memotong sayur.
Namun di lain sisi, pisau juga bisa dipergunakan untuk sesuatu yang bernilai negatif. Ia mencontohkan, ketika pisau tersebut dipergunakan untuk melukai, bahkan untuk membunuh orang lain. Ini membuktikan bahwa pisau bisa bermata dua dan berfungsi ganda. “Tergantung manusia yang mempergunakannya,” kata Sugeng.
Dengan contoh ini, ia coba membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak berada pada jalur yang salah. Yang kemudian patut untuk disalahkan adalah ketika pisau tersebut sudah berada di tangan manusia. Hal tersebut diserahkan kepada manusia, apakah akan mempergunakan ilmu pengetahuan ke jalan yang baik ataukah tidak. Artinya, ini kembali bertumpu pada pribadi masing-masing dan moral anak manusia.
Menurut Sugeng, penataan moral sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Pemimpin negara bisa menjadi tulang punggung dalam penataan moral pejabat publik. Pada kenyataannya, pemimpin negara inilah yang biasanya dijadikan contoh bawahannya. Dengan tindak tanduk dan tingkah laku yang benar, maka negara bisa diarahkan untuk kemakmuran rakyat.
Sugeng mencontohkan hal yang paling mudah dilakukan untuk penataan moral ini. Dimulai dari pribadi masing-masing. Jadi, ketika akan melakukan sesuatu, maka kita harus mengingat bahwa Tuhan melihat apa yang kita perbuat. “Sampai perbuatan sekecil apapun, perbuatan kita ada yang melihanya,” ujar rektor yang sudah bergelar profesor ini.
Jika hal itu terus menerus dilakukan, maka segala tingkah laku kita akan terjaga. Hal itu berlaku bagi siapa saja. Berbuat sesuatu yang melanggar norma atau agama, tentu dalam hatinya akan merasa bersalah. “Perubahan sebaiknya dilakukan melalui pribadi masing-masing,” kata Sugeng.
Perubahan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Cara yang paling mudah dilakukan adalah mencontoh perilaku orang yang dianggap mempunyai tabiat yang tidak tercela. Ia pun mengurai solusi. Apa yang telah dilakukan oleh ESQ, melalui bermacam bentuk pelatihan juga bisa dilakukan. Apa yang dilakukan ESQ juga bisa membenahi moral spiritual seseorang.
Jika moral bangsa Indonesia segera dibenahi, Sugeng merasa yakin akan suatu hal. Tak butuh waktu lama, Indonesia akan bangkit dan memperoleh kejayaan. Dengan moral yang tertata rapi, maka kunci keberhasilan hidup manusia akan tercapai. Masing-masing akan tahu fungsi dan tugas, tanpa menyalahkan orang lain.
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai modal yang berharga. Umat muslim di republik ini kuranglebih berjumlah 90 persen dari penduduk yang ada. Jika umat muslim bisa dijadikan contoh dalam segala tindak tanduk moral dan etika, Sugeng menjamin bahwa Indonesia akan berdiri menjadi sebuah negara yang terdepan di bandingkan dengan negara lain.
Penulisan Feature; Fakta Dalam Balutan Sastrawi
Penulisan feature lebih merupakan gaya penulisan yang diharapkan untuk menggugah emosi pembaca. Pemilihan kata-kata serta pilihan tema menjadi sangat penting. Alur yang digunakan sekilas tampak seperti alur cerita, mungkin jika bisa kita kategorikan hal tersebut sebagai alur yang ada dalam cerita pendek (cerpen). Pemilihan kata dengan menganut alur sastrawi menjadi panduan bagi orang-orang yang ingin menulis feature.
Penggunaan alur sastrawi bukan berarti menghilangkan fakta sebenarnya dari apa yang kita tulis. Seperti layaknya penulisan lain, fakta tetap menjadi sesuatu yang harus dinomorsatukan. Fakta tersebut diketemukan oleh seorang jurnalis ketika ia telah melakukan reportase.
Penulisan dengan menggunakan model ini kerap dipergunakan dengan satu tujuan. Biasanya pendekatan kemanusiaan yang menjadi tujuan penulisan feature ini. Tema yang biasa disodorkan bagi penulisan jenis ini adalah sesuatu yang dekat dengan kenyataan hidup. Biasanya kehidupan ‘kaum bawah’ menjadi pilihan tepat.
Selain tema tersebut, ada pula laporan yang biasa mempergunakan jenis penulisan ini. Biasanya laporan perjalanan juga merujuk pada penulisan feature. Misalnya, laporan perjalanan ke suatu tempat (daerah), yang tentu saja memerlukan deskripsi yang kuat.
Namun bukan berarti penulisan feature lepas dari pakem jurnalistik. Metode 5W + 1H (What, When, Where, Who, Why, dan How), tetap menjadi elemen penting. Ini berguna untuk mendeskripsikan suatu obyek yang akan dituju. Karakter majalah atau koran yang mengandalkan tulisan, membuat kelihaian deskripsi terhadap obyek menjadi sesuatu yang berharga.
Penulisan Feature Mengandalkan Deskripsi
Deskripsi penulisan menjadi sesuatu yang lazim. Karakter majalah atau koran yang notebene non visual, menjadikan deskripsi terhadap obyek menjadi penting. Tujuannya tentu agar pembaca mengerti, minimal mengetahui obyek yang kita tuju.
Deskripsi terhadap obyek meliputi beberapa hal. Jika itu menyangkut orang, maka harus jelas personifikasinya. Misal, orang tersebut umurnya berapa, dimana ia bekerja, berapa anaknya dll. Pendek kata, pembaca disodorkan kejelasan mengenai orang tersebut. Begitu pula dengan obyek lain, misalnya tempat. Pembaca juga harus disodori pengetahun tentang kejelasan tempat tersebut.
Deskripsi ini menjadi penting, karena menyangkut kelengkapan sebuah berita. Bisa diistilahkan bahwa deskripsi ini sebagai bumbu sebuah tulisan, agar ‘rasanya’ tidak hambar. Deskripsi seperti ini tidak akan banyak diketemukan dalam penulisan model straight news.
Yang juga patut dijadikan perhatian bagi penulis pemula, adalah mengenai teknis penulisan feature. Menulis feature hendaknya menggunakan bahasa yang lincah, ringan, runut, dan mudah dimengerti. Bayangkan, betapa indahnya jika pesan tulisan bisa disimak semua kalangan dengan bahasa yang gampang ketimbang hanya dimengerti sebagian kalangan lantaran bahasanya yang rumit dan kerap mencomot istilah asing.
Yang tak kalah penting, pemilihan judul untuk penulisan feature berbeda sama sekali dengan tulisan straight news. Untuk judul tulisan feature sebaiknya tak langsung menunjukkan masalah, tidak terlalu provokatif, lebih baik lagi yang bisa membuat pembaca tergelitik. Bagi penulis, mencari judul terkadang sama repotnya dengan dengan mengawali sebuah tulisan.
-----Ranah Filsafat Peradaban Eropa-----
Dicuplik dari Novel Filsafat, “Dunia Sophie” – Jostein Gardner, Mizan, Bandung
Pada periode awal filsafat Yunani ini, tema filsafati lebih mengetengahkan pada proses-proses yang terjadi di alam raya sebagai suatu fenomena, yang kemudian lazim disebut Filsafat Alam:
Thales; adalah seorang filosof yang berasal dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia kecil. Dia secara tepat pernah meramalkan gerhana matahari yang terjadi pada sekitar tahun 585 SM. Thales beranggapan bahwa segala sesuatunya bersumber dari air. Thales percaya, air merupakan awal kehidupan manusia dan seluruh kehidupan akan kembali lagi ke air ketika sudah berakhir.
Anaximander; adalah seorang filosof yang juga berasal dari Miletus dan hidup sezaman dengan Thales. Dia menawarkan sebuah antitesis terhadap apa yang pernah dipaparkan oleh Thales. Anaximander beranggapan bahwasanya zat yang merupakan segala sumber benda pastilah sesuatu yang berbeda dari yang diciptakannya. Karena benda-benda yang diciptakannya serba terbatas, maka tentulah sesuatu yang menciptakan benda yang serba terbatas tersebut pasti “tak terbatas”, dan dia menyangkal air, yang menurutnya mempunyai sifat yang sangat terbatas, sebagai sebuah sumber dari segala sesuatu.
Anaximenes (kira-kira 570-526 SM); Dia beranggapan bahwa segala sesuatu itu berasal dari udara atau uap. Anaximenes mengenal teori yang diperkenalkan sebelumnya oleh Thales tantang air, tapi dia mempertanyakan darimana asalnya air tersebut? Dia menegaskan air adalah uap yang dipadatkan. Jika hujan turun, dia beranggapan bahwa air diperas dari udara, jika air diperas lagi secara lebih keras, maka dia berpikiran udara atau uap akan menjadi tanah. Sedangkan api, menurutnya adalah udara yang dijernihkan.
Pada dasarnya ketiga filosof dari Miletus itu percaya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber dari segala hal. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana suatu zat dapat berubah menjadi sesuatu yang lain? Disinilah kemudian muncul filsafat tentang masalah perubahan:
Parmenides (kira-kira 540-480 SM); Dia beranggapan segala sesuatunya pasti ada. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan, dan tidak ada satupun yang ada menjadi tiada. Dengan kata lain, Parmenides mengatakan bahwa segala sesuatu yang berada di dunia itu bersifat abadi. Lebih jauh dia menegaskan tidak ada perubahan yang aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.
Permenides sadar secara sepenuhnya bahwa sifat alam adalah berubah alias dinamis, karena bagaimanapun juga semua itu dapat dirasakan oleh indra manusia, namun Parmenides melakukan sebuah gagasan inovatif yang mengkomparasikan antara segala sesuatu yang dapat dilihat oleh indra manusia dan akal manusia. Jika dipaksa memilih antara bergantung pada perasaan atau pada akalnya, Parmenides lebih mememilih untuk bergantung pada akal sebagai manifestasi kehidupan manusia. Secara jujur Parmenides mengungkapkan, bahwasanya dia tidak mempercayai sesuatu meskipun dia sudah melihat secara langsung. Indra-indra manusia, menurutnya memberikan gambaran yang tidak tepat tentang segala sesuatu yang ada di dunia. Maka tugas seorang filosof adalah untuk mengungkapkan segala sesuatu bentuk ilusi perseptual. Keyakinan inilah yang kemudian sebagai titik awal untuk bangkitnya faham rasionalisme.
Heraclitus (kira-kira 540-480 SM); Filosof yang berasal dari Ephesus di Asia kecil ini, beranggapan bahwa perubahan terus menerus atau aliran merupakan ciri dari alam yang paling mendasar. “Segala sesuatu terus mengalir,” kata Heraclitus. Segala sesuatu mengalami perubahan terus menerus dan selalu bergerak, tidak ada yang menetap. “Kita tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, kalau saya melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, maka saya atau sungainya yang berubah,” lanjut Heraclitus.
Heraclitus menyatakan bahwa segala seuatu yang ada di dunia ini mempunyai ciri berkebalikan. Kita tidak akan merasakan sehat jika kita tidak pernah merasakan sakit. Jika kita tak pernah merasa lapar, maka kitapun tak pernah bisa merasakan kenyang. Segala sesuatu yang baik atau buruk mempunyai tempat sendiri-sendiri di dunia, tanpa saling pengaruh-mempengaruhi dari segala sesuatu yang berkebalikan sedemikian rupa, maka dunia tidak akan pernah ada.
Bagi Heraclitus Tuhan dapat “dilihat” dari bentuk berkebalikan tersebut. Tuhan dapat “dilihat” paling jelas dalam perubahan dan pertentangan terus-menerus yang terjadi di alam. Meski manusia tidak selalu berpikir sama atau mempunyai tingkatan akal yang sama, Heraclitus yakin ada semacam “akal universal” yang menuntun segala sesuatu yang terjadi di alam. “Akal universal” ini yang disebutnya Logos atau Tuhan.
Permenidus dan Heraclitus, sama-sama mengemukakan dua hal:
Permenides menyatakan;
1. Tidak ada sesuatu yang berubah.
2. Bahwasanya kemudian persepsi indra manusia tidak dapat dipercaya.
Heraclitus menyatakan;
1. Segala sesuatu dapat berubah (segala sesuatu mengalir).
2. Bahwasanya persepsi indra manusia dapat dipercaya sepenuhnya.
Adalah Empedocles (kira-kira 490-430 SM) yang berasal dari Sicilia, yang mencoba melakukan sintesa terhadap keduanya. Empedocles menyatakan mereka benar dalam salah satu penegasannya, akan tetapi kurang tepat mengenai penegasan yang lain.
Empedocles mendapati, bahwasanya penyebab dari pertentangan mereka adalah kedua filosof tersebut hanya mengemukakan adanya satu unsur saja. Empedocles menyatakan bahwasanya air murni tetaplah air murni dan tak bisa berubah menjadi seekor ikan atau kupu-kupu. Maka, Permenides benar ketika mengatakan bahwa segala sesuatu tidak berubah. Tapi dibalik itu semua, Empedocles setuju dengan Heraclitus bahwa kita harus mempercayai bukti dengan indra-indra kita. Dengan begitu Empedocles berkesimpulan, segala sesuatu yang ada di alam tidak mungkin dibentuk hanya dengan satu unsur. Ada empat unsur, yang menurut Empodocles membentuk kehidupan, yaitu tanah, air, api dan udara. Semua proses alam disebabkan oleh menyatu dan terpisahnya keempat unsur ini. Semua benda merupakan campuran dari keempat unsur ini, namun dengan proporsi yang beragam.
Sebagai sebuah contoh adalah proporsi warna yang ada dalam lukisan, jika seorang pelukis hanya mempunyai warna merah untuk lukisannya, maka dia tidak dapat membuat gambar daun yang berwarna hijau. Namun jika sang pelukis mempunyai warna kuning, merah, biru, hitam, sang pelukis dapat memilik ratusan warna yang berbeda, sebab dia dapat mencampurkan warna-warna itu dalam takaran yang berbeda. Kemudian ada sebuah pertanyaan yang menarik, bagaimanakah atau proses seperti apakah yang bisa bisa membuat benda “tercipta” atau “terpisah”?
Dalam hal ini Empedocles percaya, bahwasanya proses yang terjadi di alam tak lepas dari “cinta” dan “perselisihan”. Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. Yang paling menarik adalah ketika Empedocles menarik kesimpulan, bahwa mata manusia normal terdiri atas unsur-unsur tanah, air, api dan udara. Maka “tanah” di mata manusia bisa melihat unsur tanah yang ada di sekitarnya. Begitupun juga dengan api, udara dan air.
Anaxagoras (500-428 SM) adalah filosof yang tidak setuju bahwa satu bahan dasar tertentu –air, misalnya- dapat diubah menjadi segala sesuatu yang kita lihat di alam ini. Dia berpendapat bahwa alam diciptakan dari partikel-partikel yang sangat kecil yang tak dapat dilihat oleh mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, namun dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Sedikit banyak tubuh manusia tercipta dengan cara yang sama. Jika seseorang melepaskan sel kulit dari jarinya; maka nukleus itu tidak hanya mengandung ciri-ciri kulitnya, tapi juga akan mengungkapkan jenis mata apa yang dimiliki oleh manusia tersebut, warna kulitnya, jumlah dan jenis jari-jarinya, dan sebagainya. Setiap sel tubuh manusia membawa cetak biru dari cara terususunnya sel-sel yang lain.
Ketika Empedocles menyatakan bahwa bersatunya unsur-unsur banyak dipengaruhi oleh “cinta”, maka Anaxogoras mengatakan “keteraturan” sebagai semacam kekuatan, yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia. Anaxogoras menyebut kekuatan ini sebagai pikiran atau akal (nous).
Anaxogoras sangat tertarik pada astronomi, dia yang pertama mengeluarkan pernyataan bahwa bulan tidak mempunyai cahaya sendiri-cahaya bulan berasal dari matahari. Dan dia mengeluarkan kata-kata yang pada waktu itu dianggap sangat kontroversial, “Matahari bukanlah dewa, tapi hanyalah seonggok batu merah-panas!”
Senin, 01 September 2008
Keperkasaan Media Ditengah Ketidakberdayaan Kita
Kekuatan media sebenarnya terletak pada posisinya yang sangat strategis, dia bisa menjadi lokus/ wilayah/ sekedar mempertukarkan informasi, namun sebaliknya bisa pula menjadi agen perubahan. Penjelasan ini memungkinkan, jika kita kembali mengkaji kebijakan (politik pemberitaan) sebuah media. Atau jika kita memasuki wacana ilmu komunikasi, secara metodologis kesemuanya itu bisa dijelaskan melalui analisa isi.
Mengkaji media, tak bisa lepas dari bias keberpihakan. Mustahil media bisa lepas dari keberpihakan, mengingat media adalah sebuah bangunan yang sistemik dan tak bisa lepas dari lingkungan atau kelompok sosial yang lain. Keberpihakan inilah yang pada akhirnya menimbukan ‘pertarungan’. Pertarungan bisa saja didasari oleh kepentingan masing-masing media. Kepentingan itulah yang kita sadari bisa membawa khalayak ke arah konflik.
Konteks Indonesia: Bisakah Masyarakat Menjadi Khalayak Aktif?
James Lull mendiskripsikan, bahwa informasi yang ditawarkan media yang mempunyai kepentingan ideologis, tidak dimakan ‘mentah-mentah’, namun diapresiasi kembali oleh masyarakat, diinterprestasi kembali oleh masyarakat. Dan itulah yang disebut realitas. Masyarakat demikianlah, yang disebut khalayak aktif. Media dalam hal ini adalah sebuah meme (memiliki daya kekuatan dari dalam dirinya untuk menulari lingkungan).
Konteks tersebut yang bisa kita kaji kembali. Terutama dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Dimensi sosiologis menitikberatkan pada gerakan rasio dan kesepahaman dalam memaknai realitas. Realitas yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia adalah realitas yang ada di media. Sikap skeptis belum tertanamkan secara sistematis. Kontroversi inilah yang bisa dijadikan tolok ukur, apakah sebenarnya media yang ada di Indonesia menghegemoni khalayak?
Pertarungan wacana pada media kita, masih berkutat pada persoalan elit, dan merupakan representasi dari ‘idiom demokrasi’ versi negara yang mempunyai kekuatan dominan dalam mengirimkan arus informasi. Maka kita tak heran jika kita akan dijejali oleh pemberitaan menganai pertarungan politik di DPR/MPR maupun hiburan tentang telenovela, sinetron dan iklan yang bisa jadi menyesatkan.